Pada suatu petang seorang tua
bersama anak mudanya yang baru menamatkan pendidikan tinggi duduk
berbincang-bincang di halaman sambil memperhatikan suasana di sekitar mereka.
Tiba-tiba seekor burung gagak
hinggap di ranting pokok berhampiran. Si ayah lalu menuding jari ke arah gagak
sambil bertanya, “Nak, apakah benda itu?”
“Burung gagak”, jawab si
anak.
Si ayah mengangguk-angguk,
namun sejurus kemudian sekali lagi mengulangi pertanyaan yang ama. Si anak
menyangka ayahnya kurang mendengar jawabannya tadi, lalu menjawab dengan
sedikit kuat,
“Itu burung gagak, Ayah!”
Tetapi sejurus kemudian si
ayah bertanya lagi pertanyaan yang sama.
Si anak merasa agak keliru
dan sedikit bingung dengan pertanyaan yang sama diulang-ulang, lalu menjawab
dengan lebih kuat,
“BURUNG GAGAK!!” Si ayah
terdiam seketika.
Namun tidak lama kemudian
sekali lagi sang ayah mengajukan pertanyaan yang serupa hingga membuat si anak
hilang kesabaran dan menjawab dengan nada yang kesal kepada si ayah,
“Itu gagak, Ayah.” Tetapi
agak mengejutkan si anak, karena si ayah sekali lagi membuka mulut hanya untuk
bertanya hal yang sama. Dan kali ini si anak benar-benar hilang sabar dan
menjadi marah.
“Ayah!!! Saya tak tahu Ayah
paham atau tidak. Tapi sudah 5 kali Ayah bertanya soal
hal tersebut dan saya sudah
juga memberikan jawabannya. Apa lagi yang Ayah mau saya
katakan????
Itu burung gagak, burung
gagak, Ayah…..”, kata si anak dengan nada yang begitu marah.
Si ayah lalu bangun menuju ke
dalam rumah meninggalkan si anak yang
kebingungan.
Sesaat kemudian si ayah
keluar lagi dengan sesuatu di tangannya. Dia mengulurkan benda itu
kepada anaknya yang masih
geram dan bertanya-tanya. Diperlihatkannya sebuah diary lama.
“Coba kau baca apa yang
pernah Ayah tulis di dalam diary ini,” pinta si Ayah.
Si anak setuju dan membaca
paragraf yang berikut.
“Hari ini aku di halaman
melayani anakku yang genap berumur lima tahun. Tiba-tiba
seekor gagak hinggap di pohon
berhampiran. Anakku terus menunjuk ke arah gagak dan
bertanya,
“Ayah, apa itu?”
Dan aku menjawab,
“Burung gagak.”
Walau bagaimana pun, anakku
terus bertanya soal yang serupa dan setiap kali aku
menjawab dengan jawaban yang
sama. Sehingga 25 kali anakku bertanya demikian, dan demi
rasa cinta dan sayangku, aku
terus menjawab untuk memenuhi perasaan ingin tahunya.
“Aku berharap hal ini menjadi
suatu pendidikan yang berharga untuk anakku kelak.”
Setelah selesai membaca
paragraf tersebut si anak mengangkat muka memandang wajah si
Ayah yang kelihatan sayu. Si
Ayah dengan perlahan bersuara,
“Hari ini Ayah baru bertanya
kepadamu soal yang sama sebanyak 5 kali, dan kau
telah hilang kesabaran serta
marah.”
Lalu si anak seketika itu
juga menangis dan bersimpuh di kedua kaki ayahnya
memohon ampun atas apa yg
telah ia perbuat.
PESAN:
Jagalah hati dan perasaan kedua orang
tuamu, hormatilah mereka.
Sayangilah mereka sebagaimana mereka
menyayangimu di waktu kecil.
Kita sudah banyak mempelajari tuntunan
Islam apalagi berkenaan dengan berbakti
kepada kedua orangtua.Tapi berapa banyak
yang sudah dimengerti oleh kita apalagi
diamalkan???
Ingat! ingat! Banyak ilmu bukanlah kunci
masuk syurganya Allah.
SEBARKAN ke teman anda jika menurut anda catatan ini
bermanfaat….
Author :
PercikanIman.org
Shared : Kisah
Penuh Hikmah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar